Kenapa JANDA BOLONG Mahal Harganya? Miris !!! Berikut Fakta yang Sebenarnya !!!

Fakta Dibalik Mahalnya Harga JANDA BOLONG Monstera

Tanaman Hias – Ditengah situasi ekonomi yang terpuruk akibat pendemi COVID-19 yang tak kunjung usai ini ternyata banyak masyarakat Indonesia yang tak sungkan merogoh kocek hingga jutaan rupiah hanya demi sebuah tanaman hias.

Hal ini ibarat rezeki nomplok bak ketiban durian runtuh, pedagang tanaman hias mengalami lonjakan omset yang sangat fantastis.

Penyebabnya adalah tanaman hias daun bolong “Monsterra” atau ngetrend dengan nama “JANDA BOLONG” yang popularitasnya terus melambung tinggi.

Tanaman hias “JANDA BOLONG” menjadi wabah baru dikala kita tengah berjuang mati-matian melawan ganasnya COVID-19.

Bisa jadi karena berbulan-bulan #Dirumahaja masyarakat merasa jenuh dan bosan hingga mencari kegiatan baru untuk menghilangkan stres.

Atau karena selalu #Dirumahaja sehingga masyarakat memiliki banyak waktu luang untuk mengurus kebun dan merawat tanaman hiasnya.

Mungkin saja dua alasan tersebut yang membuat tanaman hias DAUN BOLONG yakni Si “JANDA BOLONG” Monstera banyak diburu kolektor dan harganya melambung hingga ratusan juta rupiah. Padahal dulunya tanaman hias daun lebar ini tak dilirik dan kurang diminati.

Ilustrasi

Di beberapa platform jual beli online yang ada di Indonesia banyak toko-toko online yang menjual tanaman hias daun bolong ini.

Bukan kali ini saja, di Indonesia memang sering terjadi fenomena lonjakan-lonjakan harga sesuatu yang lagi ngetrend dan nghits di masanya.

Banyak tanaman hias yang beberapa tahun lalu sempat ngehits dan viral, sebut saja aglaonema, anturium dan lain sebagainya.

Apa yang Sebenarnya Terjadi pada Fenomena Pasar yang Seperti Ini?

Dilansir dari kompas.com, Ekonom dari Institute Development of Economics and Financial (Indef), Bhima Yudhistira menyebut fenomena semacam ini disebut sebagai gelembung ekonomi atau bubble economy.

“Teorinya adalah gelembung ekonomi (bubble economy) di mana harga aset menyimpang jauh dari nilai intrisiknya,” kata Bhima saat dihubungi Kompas.com, Minggu (27/9/2020).

Bhima menjelaskan, dalam sejarahnya fenomena ini pertama kali tercatat pada 1637. Baca juga: Mengenal Apa Itu Resesi Ekonomi, Dampak, dan Penyebabnya… Saat itu, bunga tulip dihargai 3.000-4.200 Gulden di Eropa.

“Kemudian Charles Mackay, menulis buku terkenal Extraordinary Popular Delusions and the Madness of Crowds, bahwa harga tulip bisa melambung tinggi karena pasar irasional,” sebut Bhima.

Pasar irasional ini jugalah yang saat ini terjadi pada harga jual jenis tanaman monstera “JANDA BOLONG” di Indonesia.

Namun, pasar irasional ini juga sudah beberapa kali terjadi di Tanah Air sebelumnya.

“Di Indonesia ini terjadi berulang pada saat booming ikan louhan, daun anthurium, sampai batu akik (ini) menunjukkan adanya gejala irasionalitas di pasar,” jelas dia.

“Misalnya pada saat anturium dihargai setara mobil Innova pada saat itu, ternyata ada permainan antar pedagang tanaman hias atau kartel yang menggoreng harga sehingga bisa ratusan juta rupiah,” ungkap dia.

Permainan yang dimaksud Bhima adalah upaya di antara para pedagang untuk sepakat menaikkan harga item tertentu, sehingga muncullah harga baru yang berbeda.

Tidak hanya itu, para pemain di balik harga pasar ini juga menciptakan rumor-rumor tertentu untuk mempermulus upayanya dalam melambungka harga.

“Yang dilakukan adalah proses pembentukan harga di antara sesama pedagang, kemudian diciptakan rumor atau isu agar masyarakat makin tertarik beli.

Ada forum-forum kolektor juga, diciptakan imajinasi bahwa yang warna tertentu, bentuk tertentu punya harga lebih,” katanya lagi.

Misalnya, saat ini tanaman monstera dengan jenis variegata atau memiliki campuran warna putih dan hijau, dibanderol harga lebih tinggi daripada monstera yang berwarna hijau biasa, karena disebut langka, dan sebagainya.

“Jadi diciptakan pembenaran bahwa harga yang fantastis itu wajar,” ujarnya.

Namun, satu hal yang perlu diselidiki menurut Bhima adalah siapa yang bermain di balik semua ini. Menurutnya, spekulan pasar selalu menciptakan produk untuk dipermainkan.

“Iya memang ada perubahan perilaku juga selama pandemi, masyarakat banyak WFH, sehingga perhatian terhadap interior rumah, termasuk tanaman indoor naik.

Jadi ada tren ini, tapi juga digoreng oleh spekulan,” pungkas Bhima.

Sumber : kompas.com