Jumlah Petani Berkurang Hingga 15.000 Orang Per Tahun, Kenapa Anak Petani Tidak Mau Jadi Petani?
Artikel – Miris, sebuah negara agraris yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani tapi bahan pangan masih bergantung pada impor. Ya….Indonesia, negara kita tercinta ini. Padahal sektor pertanian adalah penopang utama perekonomian Indonesia. Kita memiliki sekitar 82,71% luas lahan pertanian dari seluruh luas lahan (indonesia.go.id), seharusnya itu sudah sangat melimpah untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat Indonesia. Apalagi dari seluruh luas lahan pertanian tersebut sebagian besar adalah lahan persawahan yang notabene merupakan sumber bahan makanan pokok, yaitu padi. Pasokan bahan pangan seperti kedelai, teh, kentang, jagung, cengkeh dan padi masih diimpor hingga sekarang. Padahal bahan-bahan makanan tersebut bisa kita produksi sendiri. Ironisnya kita juga mengimpor garam dari Australia, India, Jerman, Selandia Baru dan Denmark dan ubi kayu (singkong) diimpor dari Thailand dan Vietnam.
Lalu kenapa kita tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan sendiri? Kenapa kita tidak bisa swasembada pangan? Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dalam kurun waktu Januari hingga November 2013, pemerintah Indonesia tercatat mengimpor lebih dari 17 miliar kilogram bahan pokok senilai US$ 8,6 miliar atau setara Rp (kurs: Rp 104,9 triliun). Pada kurun waktu Januari – November 2013 ada 29 jenis komoditas bahan pangan yang diimpor Indonesia. Akan lebih menyakitkan jika anda tahu bahwa komoditas bahan pangan tersebut sebagian besar bisa kita produksi sendiri. Kita terpaksa harus menerima kenyataan bahwa sebuah negara agraris yang subur kebutuhan bahan pangannya masih ditopang oleh negara lain.
Impor yang dilakukan Indonesia tidak sepenuhnya salah memang, karena itu dilakukan untuk mencukupi kebutuhan pangan, menghindari kelangkaan bahan pangan dan menghindari melonjaknya harga komoditas tentunya. Tapi kan kita punya lahan pertanian yang sangat luas, subur dan mayoritas penduduknya adalah petani, kenapa kita tidak bisa memproduksi bahan pangan? Sebuah pertanyaan klasik yang tidak ada ujung pangkalnya. Ada 3 hal penting yang menurut saya menjadi penyebab kita masih mengimpor bahan pangan yaitu lahan pertanian terus berkurang, minat bertani menurun, dan yang terakhir adalah tidak ada regenerasi petani. Apa pasal?
1. Lahan pertanian potensial terus berkurang
Dari tahun ketahun lahan persawahan (lahan potensial) terus berkurang. Kenapa? Jawabannya adalah alih fungsi lahan. Banyak lahan persawahan yang dialihfungsikan untuk membangun kompleks perumahan, perkantoran, pabrik dan lain sebagainya. Di Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah lahan persawahan banyak dialihfungsikan sebagai lahan perkebunan sengon. Otomatis produksi padi dan bahan pangan lainnya diwilayah terebut semakin menurun. Bagaimana mereka memenuhi kebutuhan akan bahan pangan? Ya impor, kalau nggak impor nggak makan.
Menurut Kepala Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta DIY), Sasongko pada september 2013, sejak lima tahun terakhir setiap tahunnya terjadi alih fungsi lahan pertanian sekitar 180 hingga 200 hektar. Itu di Propinsi Yogyakarta saja, kalau diseluruh Indonesia berapa ribu hektar lahan pertanian yang hilang setiap tahun?
2. Minat bertani menurun
Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Bustanul Arifin mengatakan, jumlah persentase petani semakin lama terus mengalami penurunan. Minat bertani bahkan dari petani sendiri semakin menurun dan mereka banyak yang beralih profesi. Menurut beliau setiap tahunnya ada sekitar 15 ribu orang petani yang meninggalkan profesinya sebagai petani. Mereka lebih memilih atau alih profesi sebagai pedagang, bahkan sebagai buruh. Kenyataan ini akan semakin menyulitkan terwujudnya program pemerintah yang menargetkan Indonesia swasembada pangan pada tahun 2017 mendatang. Bagaimana kita bisa swasembada pangan kalau jumlah petani terus berkurang? Jawabannya ada dihati anda masing-masing.
Hal senada juga diungkapkan oleh Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Bapak Suryamin, beliau menyebutkan berdasarkan data yang dimiliki oleh BPS bahwa dalam kurun waktu 10 tahun yaitu dari tahun 2003 hingga tahun 2013 jumlah petani di Indonesia menurun hingga 5 juta orng. Kemana mereka? Saya masih berprofesi sebagai petani, kalau anda?
3. Tidak ada regenerasi petani
Ketika anda bertanya pada seorang anak petani “apakah kamu mau jadi petani nak?” saya yakin jawabannya adalah “TIDAK”. Begitupun jika anda bertanya kepada seluruh anak petani di negeri ini, sebagian besar pasti menjawab dengan jawaban yang sama. Kita tidak bisa menyalahkan mereka, tapi yang harus kita lakukan sebagai orang tua yang berprofesi sebagai petani adalah introspeksi diri. Saya yakin orang tua anda kepada anda, atau anda kepada anak anda selalu berkata ” jangan seperti bapak ya nak, jadi petani itu hidupnya susah”. Kalimat seperti itu adalah racun yang akan menginfeksi anak anda untuk tidak menyukai profesi sebagai petani.
Kenapa anak petani tidak mau jadi petani? tanya Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman beberapa waktu lalu ketika beliau berkunjung ke Desa Rawakidang, Kecamatan Sukadiri, kabupaten Tangerang, Banten. Mereka tidak ingin seperti bapak ibunya yang hidupnya susah, menangis ketika panen harga padi murah, lanjut beliau. Beliau memberi solusi agar kegiatan bertani dilakukan dengan peralatan yang modern. Dengan alat pertanian modern maka anak muda bisa tertarik jadi petani dengan menggunakan alat modern. Kegiatan bertani bisa sambil bermain hanphone dengan alat modern.Dengan alat modern, petani tidak lagi kelelahan membajak tanah dengan cangkul dan kerbau, tergantikan dengan hand tractor. Petani tidak lagi membungkuk berhari-hari menanam bibit satu demi satu karena tergantikan dengan transplanter atau alat tanam otomatis. Intinya semua serba mudah, ujar beliau.
Dikutip dari liputan6.com, berikut daftar lengkap 29 komoditas bahan pangan yang diimpor Indonesia kurun Januari-November 2013:
1. Beras
Nilai impor: US$ 226,4 juta
Volume impor: 432,8 juta kilogram (kg)
Negara eksportir: Vietnam, Thailand, India, Pakistan, Myanmar, dan lainnya
2. Jagung
Nilai impor: US$ 822,35 juta
Volume impor: 2,8 miliar kg
Negara eksportir: India, Brasil, Argentina, Thailand, Paraguay, dan lainnya
3. Kedelai
Nilai impor: US$ 1 miliar
Volume impor: 1,62 miliar kg
Negara eksportir: Amerika Serikat (AS), Argentina, Malaysia, Paraguay, Uruguay, dan lainnya
4. Biji gandum dan mesin
Nilai impor: US$ 2,26 miliar
Volume impor: 6,21 miliar kg
Negara eksportir: Australia, Kanada, AS, India, Ukraina, dan lainnya
5. Tepung terigu
Nilai impor: US$ 74,9 juta
Volume impor: 185,8 juta kg
Negara eksportir: Srilanka, India, Turki, Ukraina, Jepang, dan lainnya
6. Gula pasir
Nilai impor: US$ 44,4 juta
Volume impor: 75,8 juta kg
Negara eksportir: Thailand, Malaysia, Australia, Korea Selatan, Selandia Baru dan lainnya
7. Gula Tebu
Nilai impor: US$ 1,5 miliar
Volume impor: 3,01 miliar kg
Negara eksportir: Thailand, Brasil, Australia, El Salvador, Afrika Selatan dan lainnya
8. Daging sejenis lembu
Nilai impor: US$ 185,8 juta
Volume impor: 41,5 juta kg
Negara eksportir: Australia, Selandia Baru, AS dan Singapura
9. Jenis lembu
Nilai impor: US$ 271,2 juta
Volume impor: 104,4 juta kg
Negara eksportir: Australia
10. Daging ayam
Nilai impor: US$ 30.259
Volume impor: 10.825 kg
Negara eksportir: Malaysia
11. Garam
Nilai impor: US$ 85,6 juta
Volume impor: 1,85 miliar kg
Negara eksportir: Australia, India, Selandia Baru, Jerman, Denmark dan lainnya
12. Mentega
Nilai impor: US$ 93,7 juta
Volume impor: 20,8 juta kg
Negara eksportir: Selandia Baru, Belgia, Australia, Prancis, Belanda dan lainnya
13. Minyak goreng
Nilai impor: US$ 77,4 juta
Volume impor: 84,7 juta kg
Negara eksportir: Malaysia, India, Vietnam, Thailand, Indonesia dan lainnya
14. Susu
Nilai impor: US$ 772,4 juta
Volume impor: 194,5 juta kg
Negara eksportir: Selandia Baru, AS, Australia, Belgia, Belanda dan lainnya.
15. Bawang merah
Nilai impor: US$ 38,9 juta
Volume impor: 81,3 juta kg
Negara eksportir: India, Thailand, Vietnam, Filipina, China, dan lainnya
16. Bawang putih
Nilai impor: US$ 333,3 juta
Volume impor: 404,2 juta kg
Negara eksportir: China, India, Vietnam
17. Kelapa
Nilai impor: US$ 868.209
Volume impor: 835.941 kg
Negara eksportir: Thailand, Filipina, Singapura, Vietnam dan lainnya
18. Kelapa Sawit
Nilai impor: US$ 2,4 juta
Volume impor: 3,25 juta kg
Negara eksportir: Malaysia, Papua Nugini, Virgin Island
19. Lada
Nilai impor: US$ 3,4 juta
Volume impor: 371.002 kg
Negara eksportir: Malaysia, Vietnam, Belanda, AS dan lainnya
20. Teh
Nilai impor: US$ 27,7 juta
Volume impor: 19,5 juta kg
Negara eksportir: Vietnam, Kenya, Iran, India, Srilanka dan lainnya
21. Kopi
Nilai impor: US$ 37,4 juta
Volume impor: 15,2 juta kg
Negara eksportir: Vietnam, Brasil, AS, Italia dan lainnya
22. Cengkeh
Nilai impor: US$ 3,3 juta
Volume impor: 309.299 kg
Negara eksportir: Madagaskar, Brasil, Mauritius, Singapura, dan Comoros
23. Kakao
Nilai impor: US$ 73,2 juta
Volume impor: 29,3 juta kg
Negara eksportir: Ghana, Pantai Gading, Papua Nugini, Kamerun dan Ekuador
24. Cabai
Nilai impor: US$ 368.361
Volume impor: 293.926 kg
Negara eksportir: Vietnam dan India
25. Cabe (kering)
Nilai impor: US$ 20,9 juta
Volume impor: 17,1 juta kg
Negara eksportir: India, China, Thailand, Jerman, Spanyol dan lainnya
26. Cabe (awet)
Nilai impor: US$ 2,7 juta
Volume impor: 2,6 juta kg
Negara eksportir: Thailand, China, Malaysia dan Turki
27. Tembakau
Nilai impor: US$ 571,6 juta
Volume impor: 111,8 juta kg
Negara eksportir: China, AS, Turki, Brasil, Italia dan lainnya
28. Ubi kayu
Nilai impor: US$ 38.380
Volume impor: 100.798 kg
Negara eksportir: Thailand dan Vietnam
29. Kentang
Nilai impor: US$ 27,6 juta
Volume impor: 44,6 juta kg
Negara eksportir: Australia, Kanada, AS, Mesir, Jerman dan lainnya.
Renungan seorang petani di malam minggu dini hari, pukul 02.00 WIB Rokan Hulu, 06 maret 2016
Salam mitalom !!!